Tuesday 2 February 2021

Takut - Climbing inside fear




fear
/ˈfir/
noun
  1. an unpleasant emotion caused by the belief that someone or something is dangerous, likely to cause pain, or a threat.


Anda pernah ngga memiliki tugas, yang entah kenapa, males sekali untuk diselesaikan?

rasanya seolah kita selalu punya alasan untuk mengabaikannya. walaupun kita tahu itu penting.

saya ada. ada 3 tugas dari kampus yang entah, setiap kali membuka foldernya, dada saya rasanya bergemuruh dan pengen segera menutup folder tersebut.

satu waktu saya pikir saya hanya malas. namun kemudian, saya menemukan, bahwa ternyata saya takut. saya takut dengan tugas itu. saya takut saya tidak bisa mengerjakan dengan baik, saya takut salah, saya takut dianggap bodoh, saya takut menemui kenyataan bahwa saya tidak mampu. 

iya, ternyata rasa takut itu yang selama ini menghantui saya dan membuat saya selalu menemukan alasan untuk tidak mengerjakannya.


hmm...


menulis ini ternyata tidak bikin lega.  


seperti biasa, melihat pendapat para ahli sepertinya akan menyenangkan. so, here we go.


saya menemukan satu artikel yang berjudul "Expectancy model of fear, anxiety and panic" yang ditulis oleh Reiss S (1991). Selanjutnya kita sebut saja beliau dengan Pak Reiss.

Jadi nampaknya Pak Reiss ini adalah akademisi untuk bidang psikologi yang banyak meneliti mengenai rasa takut dan kecemasan. artikel yang saya rujuk di atas adalah rangkuman atas penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Pak Reiss. btw, artikelnya bagus. saya akan coba summarize model yang diusulkan oleh Pak Reiss ini.

1. Rasa takut secara parsial atau keseluruhan didorong munculnya oleh harapan serta sensitivitas terhadap kecemasan (saya baru tahu ternyata ada angka index untuk mengukur kecemasan yang disebut dengan index sensitivitas terhadap kecemasan) : ini bener banget ya. rasa takut saya memang didorong atau diakibatkan oleh harapan atas hasil ketika saya melakukan tugas-tugas tadi. mungkin bukan harapan ya kata yang tepat, tapi ekpekstasi atau pandangan saya atas sesuatu yang muncul ketika saya melakukan tugas-tugas tadi. saya takut salah, takut dicap ngga bisa, takut dibandingin dengan junior lain. itu adalah ekspektasi negatif saya...

Pak Reiss, njenengan daebak!

2. sensitivitas terhadap kecemasan bersifat sangat individu dan bisa diukur dengan sensitivity index. nah, ini harusnya bahasan bagus sih tentang index sensitivitas atas kecemasan. tapi berhubung artikelnya ndak ada gambar-gambar yang merangkum bagaimana index sensitivitas kecemasan (saya belum membaca sama sekali ya tentang ini) tsb, jadilah saya skip. pan kapan kalau ngga lupa, mari kita cari tahu sama-sama apa itu index sensitivitas kecemasan

3. Orang dengan tingkat kecemasan yang tinggi memiliki rasa takut yang lebih banyak terhadap objek atau situasi yang berbeda. jadi intinya, semakin mudah anda merasa cemas terhadap sesuatu itu artinya anda punya rasa takut yang banyak atas macam-macam objek dan kondisi atau situasi. 

nah, iya ini bener sih. makanya ada orang yang kayaknya santai banget, ya mungkin bisa jadi dia ndak punya rasa takut, atau dia hanya memiliki rasa takut terhadap sedikit hal saja.

lha kalo saya 😐 jangan ditanya lah. mungkin itu sebabnya kenapa saya gampang ndredeg, hiperhidrosis, rasa takut saya terlalu banyak. dan porsi terbesarnya adalah rasa takut pada komentar netijen. duhkah! ndak penting banget kan 😐

saya tidak paham apakah yang saya lakukan ini adalah self diagnose yang sebenarnya tidak dianjurkan. tapi kadang dengan mengilmiahkan apa yang terjadi pada kita, itu membuat kita merasa lebih baik.   


source :

Reiss, S. (1991). Expectancy model of fear, anxiety, and panic. Clinical Psychology Review, 11(2), 141–153. doi:10.1016/0272-7358(91)90092-9 

1 comment:

  1. terimakasih sudah nulis ini, terutama bagi saya yg jg seringkali takut akan hal2 gak jelas

    ReplyDelete