Thursday 25 February 2021

kangen kampus

saya sedang kangen kampus. 

kangen mahasiswa yang kadang menyebalkan. 

kangen kasak-kasuk antar bilik yang memisahkan kami. kangen rasan-rasan. 

kangen naik gojek dari wonokromo ke nginden yang macet naudzubillah. 

kangen naik bangunkarta sore-sore dan negrasa jadi sultan. 

kangen kerja nagdep laptop, pasang headset, menteleng layar seolah jadi manusia paling sibuk sedunia padahal aslinya twitteran. 

kangen pake blazer. 

kangen pake heels. 

kangen ambience kampus. 

kangen jalan pake bunyi cetak cetok dari sepatu. 

kangen make-up-an di kampus. 

kangen rumpiin skin care terbaru. 

.

btw saya kemarin sempat cerita di twitter tentang on the way to airport. yang ternyata main lead si perempuan akhirnya resign dari kerjaannya sebagai pramugari.

saya sempat kepikiran melakukan hal yang sama ketika nanti dihadapkan pada situasi yang sama.

tapi mengingat perasaan saya hari ini, dan bagaimana bekerja bagi sebagian orang ternyata punya arti cukup besar selain nyari duit doang, 

kayaknya saya bakalan terus bekerja sampai nanti-nanti. entah dengan penyesuaian seperti apa, tapi nampaknya saya akan dan harus terus bekerja.

saya ngga bisa kalau ngga bekerja. 

Wednesday 24 February 2021

Menjadi diri sendiri

 hola! apa kabar? semoga selalu sehat ya!


rasanya sudah lama saya tidak menjejakkan tangan di sini. kangen juga sih. yap, terakhir adalah ketika saya ikut lomba BI kemarin. bikin tulisan berdasarkan challenge.


seru juga. walaupun aga kecewa sih karena kalah. hihihi.


tapi tentu ini ta apa.


jadi kemarin ketika ikut lomba BI sempat ada review tentang blog. dan si reviewer bilang kalau beberapa blog terlalu hiperbolis, karena terlalu banyak "aku" di dalamnya. dan, ndak semua orang nyaman dengan itu.


ya saya ngerasalah!


sempat mangkel sih. tapi yasudahlah. 


ya memang tujuan orang ngeblog kan sendiri-sendiri. kalau saya, ya saya ngeblog karena saya belum selesai dengan diri saya sendiri dan nampaknya tidak akan selesai.


saya masih akan menulis apa yang ingin saya tulis. saya masih akan meracau. sesekali saya akan mensitasi beberapa penelitian. sesekali saya mungkin akan kembali mellow di sini.


entah kenapa saya kok mangkel. hahaha. 


karena bagi saya blog itu personal ya sifatnya, bagaimanapun. kalau ndak pengen jadi personal ya bikin portal berita saja.  


anyway, kemarin saya akhirnya ikut tes TOEFL ITP. nilai saya alhamdulillah. lumayan baiklah ya. 


satu wishlist sudah tercentang.


semoga wishlist  dapat beasiswa dan sekolah S3 bisa segera tercentang juga. amin! 👌😊 

This entry was posted in

Tuesday 2 February 2021

Takut - Climbing inside fear




fear
/ˈfir/
noun
  1. an unpleasant emotion caused by the belief that someone or something is dangerous, likely to cause pain, or a threat.


Anda pernah ngga memiliki tugas, yang entah kenapa, males sekali untuk diselesaikan?

rasanya seolah kita selalu punya alasan untuk mengabaikannya. walaupun kita tahu itu penting.

saya ada. ada 3 tugas dari kampus yang entah, setiap kali membuka foldernya, dada saya rasanya bergemuruh dan pengen segera menutup folder tersebut.

satu waktu saya pikir saya hanya malas. namun kemudian, saya menemukan, bahwa ternyata saya takut. saya takut dengan tugas itu. saya takut saya tidak bisa mengerjakan dengan baik, saya takut salah, saya takut dianggap bodoh, saya takut menemui kenyataan bahwa saya tidak mampu. 

iya, ternyata rasa takut itu yang selama ini menghantui saya dan membuat saya selalu menemukan alasan untuk tidak mengerjakannya.


hmm...


menulis ini ternyata tidak bikin lega.  


seperti biasa, melihat pendapat para ahli sepertinya akan menyenangkan. so, here we go.


saya menemukan satu artikel yang berjudul "Expectancy model of fear, anxiety and panic" yang ditulis oleh Reiss S (1991). Selanjutnya kita sebut saja beliau dengan Pak Reiss.

Jadi nampaknya Pak Reiss ini adalah akademisi untuk bidang psikologi yang banyak meneliti mengenai rasa takut dan kecemasan. artikel yang saya rujuk di atas adalah rangkuman atas penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Pak Reiss. btw, artikelnya bagus. saya akan coba summarize model yang diusulkan oleh Pak Reiss ini.

1. Rasa takut secara parsial atau keseluruhan didorong munculnya oleh harapan serta sensitivitas terhadap kecemasan (saya baru tahu ternyata ada angka index untuk mengukur kecemasan yang disebut dengan index sensitivitas terhadap kecemasan) : ini bener banget ya. rasa takut saya memang didorong atau diakibatkan oleh harapan atas hasil ketika saya melakukan tugas-tugas tadi. mungkin bukan harapan ya kata yang tepat, tapi ekpekstasi atau pandangan saya atas sesuatu yang muncul ketika saya melakukan tugas-tugas tadi. saya takut salah, takut dicap ngga bisa, takut dibandingin dengan junior lain. itu adalah ekspektasi negatif saya...

Pak Reiss, njenengan daebak!

2. sensitivitas terhadap kecemasan bersifat sangat individu dan bisa diukur dengan sensitivity index. nah, ini harusnya bahasan bagus sih tentang index sensitivitas atas kecemasan. tapi berhubung artikelnya ndak ada gambar-gambar yang merangkum bagaimana index sensitivitas kecemasan (saya belum membaca sama sekali ya tentang ini) tsb, jadilah saya skip. pan kapan kalau ngga lupa, mari kita cari tahu sama-sama apa itu index sensitivitas kecemasan

3. Orang dengan tingkat kecemasan yang tinggi memiliki rasa takut yang lebih banyak terhadap objek atau situasi yang berbeda. jadi intinya, semakin mudah anda merasa cemas terhadap sesuatu itu artinya anda punya rasa takut yang banyak atas macam-macam objek dan kondisi atau situasi. 

nah, iya ini bener sih. makanya ada orang yang kayaknya santai banget, ya mungkin bisa jadi dia ndak punya rasa takut, atau dia hanya memiliki rasa takut terhadap sedikit hal saja.

lha kalo saya 😐 jangan ditanya lah. mungkin itu sebabnya kenapa saya gampang ndredeg, hiperhidrosis, rasa takut saya terlalu banyak. dan porsi terbesarnya adalah rasa takut pada komentar netijen. duhkah! ndak penting banget kan 😐

saya tidak paham apakah yang saya lakukan ini adalah self diagnose yang sebenarnya tidak dianjurkan. tapi kadang dengan mengilmiahkan apa yang terjadi pada kita, itu membuat kita merasa lebih baik.   


source :

Reiss, S. (1991). Expectancy model of fear, anxiety, and panic. Clinical Psychology Review, 11(2), 141–153. doi:10.1016/0272-7358(91)90092-9