Sunday 16 January 2022

Berdamai dengan diri sendiri

Pada akhirnya butuh waktu paling tidak 2 tahun untuk akhirnya saya dengan legowo mau berdamai setelah perang berkepanjangan.

Ya, saya mau berdama dengan diri saya sendiri. Saya capek berperang dengan banyak peran dalam hidup saya.

Rasanya seperti kemarin, hati saya akhirnya lega, setelah dengan seluruh ego yang dipangkas habis, saya bilang ke diri saya sendiri:

Ma, kamu sekarang adalah Ibu rumah tangga murni. Kamu adalah ibu untuk anakmu. Jadi fokusmu satu saja ya. Fokus sama anak dulu. Yang lain lain menyusul belakangan. 

Terdengar sepele ya? Tapi untuk manusia kepala batu seperti saya, butuh bertahun-tahun untuk mengakuinya. Untuk menyisihkan banyak hal lain di belakang. Sesuatu yang selama ini saya pikir bisa jalan beriringan, namun ternyata tidak bisa. 

Saya selalu percaya bahwa saya ada straight A students. Saya tahu saya bisa mencapainya dengan mudah. Karena itu ketika akhirnya sekolah lagi kemarin, rasanya... Hahaha. Ambisi untuk benar-benar menjadi straight A sangat sangat tinggi. Saya mau ambil semua, saya mau kerjakan semua, saya mau mempelajari semua. Bahagia sekali.

Tapi di sisi lain, ada anak yang semakin kurus. Ada anak yang tantrum karena hal hal sepele tidak jelas. Bukan tantrum karena menginginkan sesuatu, tidak. Dia tidak pernah minta dibelikan apapun. Anak saya hanya tantrum kalau saya buka laptop atau epgang hape terlalu lama. Ada anak yang ngambekan luar biasa yang saya tidak tahu lagi harus menurutinya seperti apa. 

Sedih nggak? Sedih lah :')

Dulu saya pikir, hidup saya akan indah indah saja. WFH, SFH, bisa nemenin anak. Pas waktunya saya ngajar atau sekolah anak bakal anteng, mau mainan sendiri, pas waktunya saya bikinin maem juga dia mau makan lahap, manut. Kenyataannya ternyata berbeda 180 derajat. Dia tantrum setiap kali saya ngajar. Tiap kali saya sekolah. Dan tantrumnya ngga main main :')

Saya sempat menjadi monster. Sesuatu yang saya sesali belakangan. Marah tidak jelas. Menuntut anak untuk paling tidak mengerti saya (bodoh ya saya), membuat anak malah seperti trauma melihat ibunya seperti punya dua muka. Saat semua baik, ya saya akan baik baik saja. Saat saya cape dan ada tuntutan sekolah atau tugas atau pekerjaan yang belum beres, saya seketika berubah menjadi monster. 

Saya akhirnya lelah dan menyerah. Sudahlah. Tidak bisa terus-terusan seperti ini. Tidak harus menjadi straight A. Tidak harus menjadi Doktor dengan nilai sempurna. Tidak harus buru buru publish Scopus. 

Ada waktu anak yang saya curi ketika saya bekerja dulu. Mungkin ini adalah waktu saya untuk mengembalikannya. 

Tentu saja saya juga masih kesulitan mengatur waktu dan mengatur semuanya. Tapi semoga dengan setting prioritas utama seperti ini, hidup saya akan jauh lebih baik baik saja. Termasuk anak saya.

PS. 
Jujur, berkorban hal ini sangat berat. Apalagi untuk ego saya. Saya percaya banyak perempuan lain di luar sana yang juga mengorbankan banyak hal untuk keluarganya. Banyak sekali. Karena itu, do respect your wife. They sacrificed a lot :')